Sarasehan Pancasila No.3 Vol.1 (2018) : Menilik Estetika dan Pancasila
Pada hari Jumat, 2 Maret 2018 jam 13.00 WIB sampai selesai bertempat di ruang sidang Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Negeri Malang Jl. Veteran 9 Malang telah dilaksanakan Sarasehan Kebangsaan dengan tema “Menilik Estetika dan Pancasila”
Bertindak sebagai narasumber dalam Sarasehan kebangsaan ini adalah Dika Sri Pandanari. Narasumber menyampaikan bahwa berbicara mengenai estetika Pancasila berarti juga membicarakan sejarah terbentuknya Pancasila, serta membicarakan juga perihal simbol-simbol, nilai-nilai, tafsir praksis hingga penjabaran kebudayaan yang berhubungan dengannya. Namun berbicara mengenai estetika juga membawa kita terlebih dahulu kepada proses kesadaran reflektif subjek penilai dan nilai intrinsik yang terpancar dari objek estetik. Dalam menilik estetika Pancasila, kita dapat memperhatikan kondisi-kondisi berikut ini;
Pertama, historisitas. Dalam pembahasan sejarah Pancasila misalnya, ia pernah diterjemahkan secara kaku dan doktrinal hingga menjadi pembenaran status quo kekuasaan represif. Hal tersebut terjadi pada masa pra-reformasi, dimana Pancasila kehilangan daya tariknya dan semata didudukkan sebagai simbol yang jauh dari kehidupan dan pengenalan masyarakat. Daya tarik ini, merupakan sisi estetik dari Pancasila, yang seiring berjalannya waktu, semakin dihayati dalam kesadaran-kesadaran subjek secara bebas.Terdapat romantisme dari masa-masa awal penyusunan Pancasila dan perjalanannya hingga kini. Pengetahuan atas sejarahnya disatukan oleh keputusan apriori hingga menimbulkan penerimaan bahwa sejarah Pancasila adalah sejarah yang memiliki nilai estetis.
Kedua, simbol. Menjadi dan memiliki simbol fisik yang memiliki cerita. Pancasila sebagai simbol negara memiliki makna politis yaitu tanda konsensus dan dasar dari berdirinya negara Indonesia. Namun secara lebih sederhana lagi, masyarakat dapat melihat Pancasila lebih kepada simbol-simbol idealisme keseharian. Simbol yang juga menandakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tujuan dan sedang mengusahakan kondisi negara yang sedemikian rupa, yang tertulis dalam sila-sila Pancasila. Di sisi lain, Garuda yang menjadi lambang Pancasila telah hadir di setiap saat dimana masyarakat sedang mengenang negara sebagai satu bentuk wadah kehidupa bersama. Terlepas dari seberapa dalam pemahaman masyarakat tersebut akan Pancasila, namun simbol tersebut setidaknya mengarahkan pemahaman akan kehadiran dan harapan akan situasi yang ideal. Terdapat hubungan estetis dalam subjek penerima dan objek (lambang Pancasila) yang menyatakan kehadirannya melalui daya tarik yang tidak selalu dapat terungkapkan.
Ketiga,lahir pada dan menjadi kultur. Perdebatan permasalahan apakah Pancasila adalah abstraksi kebudayaan Indonesia seperti yang dinyatakan Soekarno sebagai local genius ataukah identitas yang terformulasi menjadi kultur seperti yang dinyatakan oleh As’ad Said. Pada akhirnya Pancasila sebagai ideologi memang diturunkan dalam hal-hal praktis yang lahir dalam kebiasaan dan kebudayaan. Bahkan sebelum Pancasila tersusun, kebiasaan-kebiasaan seperti musyawarah, gotong royong, ide pemersatuan bangsa, dan iman atas suatu causa tertentu (tuhan) telah ada. Oleh sebab itu manusia telah merekam kesadarannya mengenai sistem ideal tertentu dan kemudian dapat dengan mudah mengafirmasinya dalam konsep ideologi yang ditawarkan oleh negara, yaitu Pancasila